Bahasa
Osing Kalah Pamor
By Rivani Ratna Juwita
Tahukah anda bahwa di Jawa Timur hanya memiliki tiga bahasa daerah yaitu Bahasa Jawa, Bahasa Madura dan Bahasa Osing. Bahasa
Jawa dan madura sudah jelas
kepopulerannya. Bahkan orang ibukota mampu menirukan kedua bahasa tersebut walaupun
sedikit. Tapi mengapa tidak untuk Bahasa Osing ? Ada banyak faktor yang mempengaruhi mengapa
Bahasa Osing memiliki pamor lebih rendah dari pada dua bahasa daerah tersebut.
Berdasarkan Thesis (Alm) Dr. S. Parman, Bahasa
Osing sendiri sudah ada sebelum abad 17. Bahasa Osing merupakan turunan dari
Bahasa Kawi yang dipecah menjadi dua yaitu Bahasa Jawa dan Bahasa Osing. Bahasa
Jawa dengan mudahnya dapat diterima mudahnya oleh masyarakat. Tidak seperti
Bahasa Osing yang sulit untuk diterima masyarakat karena zaman dahulu letak
geografis kota Banyuwangi
yang kurang mendukung yaitu diselimuti oleh hutan. Jadi sulit untuk
diperkenalkan ke masyarakat luas.
Menurut Abdullah Fauzi selaku staf
kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Bahasa Osing tidak mudah untuk
terekspose karena bahasanya sulit untuk ditirukan oleh orang awam dan kurang
ada media yang tepat untuk mempublikasikan Bahasa Osing.
“Kalau
di Surabaya, banyak media yang bagus untuk mengangkat bahasa mereka dan lagi Surabaya dan Madura
berdekatan bukan tidak mungkin keduanya dengan mudah menirukan bahasa daerah
satu sama lain,” ungkap Abdullah Fauzi.
Sebenarnya
Bahasa Osing memang sedikit terdengar kasar, bagi orang yang jarang atau bahkan
tidak pernah mendengarnya. Tidak seperti Bahasa Jawa yang memiliki tingkatan
strata dalam penyusunan yang sesuai dengan kehalusan kalimatnya, Bahasa Osing
tidak memiliki tingkatan tersebut. Semua kata dalam bahasa Osing adalah untuk
semua kalangan.
“Itu
filosofinya adalah bahwa semua orang itu sama , jadi tidak ada perbedaan maka
sama halnya dengan bahasa. Bahasa Osing digunakan untuk semua kalangan,” tandas
Abdullah Fauzi.
Apabila ditelusuri berdasarkan
sejarahnya, sebenarnya bahasa Osing tidak lepas dari campur tangan orang
Betawi. Karena dulu sekitar abad 17, ketika ada peperangan di tanah bumi
blambangan banyak orang betawi yang ikut berperang di Banyuwangi. Sehingga
secara tidak langsung ada kesamaan antara dua bahasa tersebut, yaitu terletak
pada kasarnya bahasa yang digunakan.
“Bahasa osing dan Bahasa Betawi itu
sebenarnya sama, mbak, sama-sama ceplas-ceplos,” tambahnya.
Abdullah
Fauzi sendiri sangat peduli tentang perkembangan Bahasa daerah kebanggannya itu.
Bahkan Abdullah Fauzi telah menerbitkan 3 novel dalam Bahasa osing yaitu,
Pereng Puthuk Giri, Latu Ringisor Serngenge dan Ngersaya serta banyak lagi
cerpen yang beliau ciptakan. Itu adalah bentuk kebanggaannya pada Bahasa Osing.
Selain beliau, ada juga Pak Aikano yang membuat komik dalam tiga bahasa yaitu Bahasa
Indonesia,
Inggris dan Bahasa Osing. Komik tersebut tentu saja menceritakan tentang
Banyuwangi.
Pengaruh Bahasa Inggris
juga masuk kedalam bahasa ini melalui para tuan tanah yang pernah tinggal di
kawasan tersebut, seperti dalam kata Sulung dari kata so long
namun bermakna duluan. Nagud dari kata no good bermakna jelek.
Ngepos dari kata pause bermakna berhenti. Kekel dari
kata cackle bermakna tertawa terpingkal-pingkal. Enjong
dari kata enjoy bermakna enak,menyenangkan.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi
sendiri telah melakukan banyak hal untuk mendongkrak kepopularitasan Bahasa
Osing. Muali daridalam bentuk pendidikan bagi siswa SD dan SMP hingga mengubah
naskah teks teater Dhamarwulan yang semula berbahasa jawa kemudian diganti ke
Bahasa Osing. Karena Dhamarwulan merupakan cerita asli Banyuwangi. Sekarang
tugas kita bersama untuk mempopulerkan Bahasa Osing tersebut.(van)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar