Minggu, 13 November 2011

Bahasa Osing


Bahasa Osing Kalah Pamor
By Rivani Ratna Juwita

            Tahukah anda bahwa di Jawa Timur hanya memiliki tiga bahasa daerah yaitu Bahasa Jawa, Bahasa Madura dan Bahasa Osing. Bahasa Jawa dan  madura sudah jelas kepopulerannya. Bahkan orang ibukota mampu menirukan kedua bahasa tersebut walaupun sedikit. Tapi mengapa tidak untuk Bahasa Osing ? Ada banyak faktor yang mempengaruhi mengapa Bahasa Osing memiliki pamor lebih rendah dari pada dua bahasa daerah tersebut.
             Berdasarkan Thesis (Alm) Dr. S. Parman, Bahasa Osing sendiri sudah ada sebelum abad 17. Bahasa Osing merupakan turunan dari Bahasa Kawi yang dipecah menjadi dua yaitu Bahasa Jawa dan Bahasa Osing. Bahasa Jawa dengan mudahnya dapat diterima mudahnya oleh masyarakat. Tidak seperti Bahasa Osing yang sulit untuk diterima masyarakat karena zaman dahulu letak geografis kota Banyuwangi yang kurang mendukung yaitu diselimuti oleh hutan. Jadi sulit untuk diperkenalkan ke masyarakat luas.
Menurut Abdullah Fauzi selaku staf kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Bahasa Osing tidak mudah untuk terekspose karena bahasanya sulit untuk ditirukan oleh orang awam dan kurang ada media yang tepat untuk mempublikasikan Bahasa Osing.
            “Kalau di Surabaya, banyak media yang bagus untuk mengangkat bahasa mereka dan lagi Surabaya dan Madura berdekatan bukan tidak mungkin keduanya dengan mudah menirukan bahasa daerah satu sama lain,” ungkap Abdullah Fauzi.
            Sebenarnya Bahasa Osing memang sedikit terdengar kasar, bagi orang yang jarang atau bahkan tidak pernah mendengarnya. Tidak seperti Bahasa Jawa yang memiliki tingkatan strata dalam penyusunan yang sesuai dengan kehalusan kalimatnya, Bahasa Osing tidak memiliki tingkatan tersebut. Semua kata dalam bahasa Osing adalah untuk semua kalangan.
            “Itu filosofinya adalah bahwa semua orang itu sama , jadi tidak ada perbedaan maka sama halnya dengan bahasa. Bahasa Osing digunakan untuk semua kalangan,” tandas Abdullah Fauzi.
Apabila ditelusuri berdasarkan sejarahnya, sebenarnya bahasa Osing tidak lepas dari campur tangan orang Betawi. Karena dulu sekitar abad 17, ketika ada peperangan di tanah bumi blambangan banyak orang betawi yang ikut berperang di Banyuwangi. Sehingga secara tidak langsung ada kesamaan antara dua bahasa tersebut, yaitu terletak pada kasarnya bahasa yang digunakan.
“Bahasa osing dan Bahasa Betawi itu sebenarnya sama, mbak, sama-sama ceplas-ceplos,” tambahnya.
            Abdullah Fauzi sendiri sangat peduli tentang perkembangan Bahasa daerah kebanggannya itu. Bahkan Abdullah Fauzi telah menerbitkan 3 novel dalam Bahasa osing yaitu, Pereng Puthuk Giri, Latu Ringisor Serngenge dan Ngersaya serta banyak lagi cerpen yang beliau ciptakan. Itu adalah bentuk kebanggaannya pada Bahasa Osing. Selain beliau, ada juga Pak Aikano yang membuat komik dalam tiga bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Inggris dan Bahasa Osing. Komik tersebut tentu saja menceritakan tentang Banyuwangi.
            Pengaruh Bahasa Inggris juga masuk kedalam bahasa ini melalui para tuan tanah yang pernah tinggal di kawasan tersebut, seperti dalam kata Sulung dari kata so long namun bermakna duluan. Nagud dari kata no good bermakna jelek. Ngepos dari kata pause bermakna berhenti. Kekel dari kata cackle bermakna tertawa terpingkal-pingkal. Enjong dari kata enjoy bermakna enak,menyenangkan.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sendiri telah melakukan banyak hal untuk mendongkrak kepopularitasan Bahasa Osing. Muali daridalam bentuk pendidikan bagi siswa SD dan SMP hingga mengubah naskah teks teater Dhamarwulan yang semula berbahasa jawa kemudian diganti ke Bahasa Osing. Karena Dhamarwulan merupakan cerita asli Banyuwangi. Sekarang tugas kita bersama untuk mempopulerkan Bahasa Osing tersebut.(van)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar